Pantai Pasir Padi Pangkalpinang

Satu-satunya pantai yang ada di kota Pangkalpinang yang mudah dijangkau dengan kendaraan pribadi hanya memakan waktu kurang lebih 10 menit dari Pusat Kota. Bisa menjadi pilihan destinasi wisata anda yang ingin bersantai bersama teman, pasangan, keluarga dan sanak saudara.

Jembatan Emas Pangkalpinang Bangka

Icon Baru Wisata Bangka Belitung. Sebuah Jembatan Yang Terletak Di Perbatasan Antara Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka. Tempat Yang Pas Untuk Mengabadikan Panorama yang Sangat Indah.

Pulau Lengkuas Belitung

Salah satu pulau terindah di Pulau Belitung yang tepatnya terletak di Kabupaten Belitung. Terdadapat sebuah Mercusuar yang menjadi Icon dari pulau ini. Untuk mencapai pulau ini harus mengunakan kapal-kapal yang bisa anda sewa dari para penyedia jasa angkutan ke pulau tersebut.

Jembatan Emas With Sunset Pangkalpinang Bangka

Pemandangan Matahari Terbenam Yang Begitu Indah Terlihat Dari Jembatan Emas Bangka.

Tanjung Pesona Bangka

Pantai Indah Dari Bangka. Terdapat Vila Menghadap Langsung Ke Pantai Yang Bisa Di Sewa.

Sunset Tanjung Pendam Belitung

Pemandangan Matahari Terbenam Yang Indah Dari Pulau Belitong.

Bukit Berahu Belitung

Bukit Yang Terdapat Pantai Dibawahnya. Pemandangan Pantai Indah Dari Atas Bukit.

Tanjung Pendam Belitung

Sebuah Tanjung Yang Bersebelahan Dengan Pelabuhan Penumpang. Terdapat Puluhan Warung Kopi Untuk Tempat Bersantai Dan Buka Sampai Malam. Juga Terdapat Sunset Yang Sangat Indah Pada Sore Harinya.

Jembatan Pahlawan 12 Pangkalpinang

Jembatan Dengan Konstruksi Kuat Yang Menjadi Andalan Masyarakat Pangkalpinang Yang Terdapat Di Tengah Tengah Kolong Retensi Pangkalpinang.

Pantai Jambosai Tanjung Kelayang Bangka

Pantai Dengan Batuan Besar Yang Mendominasi Daratannya Dan Langsung Mennuju Laut.

Tanjung Berikat Bangka Tengah

Memiliki pantai indah yang masih alami dan gusung panjang yang membentang di ujung timur pulau bangka.

SELAMAT DATANG DI ALLBABEL | SEMUA TENTANG WISATA BANGKA BELITUNG ADA DISINI

Perang Ketupat


Lagu Timang Burong (Menimang Burung) pengiring tari serimbang itu dilantunkan secara lembut. Lagu itu, diiringi suara gendang dari enam penabuh serta alunan dawai (alat musik), untuk mengiringi gerak lima penari remaja yang menyambut tamu. Dengan baju dan selendang merah, kelima penari menyita perhatian ribuan pengunjung yang memadati Pantai Pasir Kuning, Tempilang, Bangka Barat, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Tarian yang menggambarkan kegembiraan sekumpulan burung siang menyambut kehadiran seekor burung malam itu merupakan pembukaan dari rangkaian tradisi perang ketupat, khas Kecamatan Tempilang di Bangka Belitung. Tradisi tersebut menggambarkan perang terhadap makhluk-makhluk halus yang jahat, yang sering mengganggu kehidupan masyarakat.
Tradisi itu sebenarnya sudah dimulai pada malam sebelum perang ketupat dimulai. Pada malam hari sebelumnya, tiga dukun Kecamatan Tempilang, yaitu dukun darat, dukun laut, dan dukun yang paling senior, memulai upacara Penimbongan.
Upacara dimaksudkan untuk memberi makan makhluk halus yang dipercaya bertempat tinggal di darat. Sesaji untuk makanan makhluk halus itu diletakkan di atas penimbong atau rumah-rumahan dari kayu menangor.
Secara bergantian, ketiga dukun itu memanggil roh-roh di Gunung Panden, yaitu Akek Sekerincing, Besi Akek Simpai, Akek Bejanggut Kawat, Datuk Segenter Alam, Putri Urai Emas, Putri Lepek Panden, serta makhluk halus yang bermukim di Gunung Mares, yaitu Sumedang Jati Suara dan Akek Kebudin.
Menurut para dukun, makhluk-makhluk halus itu bertabiat baik dan menjadi penjaga Desa Tempilang dari serangan roh-roh jahat. Karena itu, mereka harus diberi makan agar tetap bersikap baik terhadap warga desa.
Pada upacara Penimbongan itu digelar tari campak, tari serimbang, tari kedidi, dan tari seramo. Tari campak dilakukan dalam beberapa tahap dengan iringan pantun yang dinyanyikan secara bersahut-sahutan. Tari ini juga biasa digelar dalam pesta pernikahan atau pesta rakyat lainnya.
Tari kedidi lebih mirip dengan peragaan jurus-jurus silat yang diilhami gerakan lincah burung kedidi, sedangkan tari seramo merupakan tari penutup yang menggambarkan pertempuran habis-habisan antara kebenaran melawan kejahatan.
Seusai upacara Penimbongan, para dukun itu kembali mengadakan upacara Ngancak, yakni pada tengah malamnya. Upacara Ngancak dimaksudkan memberi makan kepada makhluk halus penunggu laut.
Diterangi empat batang lilin, dukun laut membuka acara itu dengan membaca mantra-mantra pemanggil makhluk halus penunggu laut, di antara bebatuan tepi Pantai Pasir Kuning, Tempilang. Nama-nama makhluk halus itu diyakini tidak boleh diberitahukan kepada masyarakat agar tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.
Seperti pada upacara Penimbongan, upacara Ngancak juga dilengkapi sesaji bagi makhluk halus penunggu laut. Sesaji itu dipercaya merupakan makanan kesukaan siluman buaya, yaitu buk pulot atau nasi ketan, telur rebus, dan pisang rejang.
Perang ketupat
Pagi harinya, seusai tari serimbang digelar, dukun darat dan dukun laut bersatu merapal mantra di depan wadah yang berisi 40 ketupat. Mereka juga berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar perayaan tersebut dilindungi, jauh dari bencana.
Di tengah membaca mantra, dukun darat tiba-tiba tak sadarkan diri (trance) dan terjatuh. Dukun laut menolongnya dengan membaca beberapa mantra, dan akhirnya dukun darat pun sadar dalam hitungan detik.
Menurut beberapa orang tua di tempat tersebut, ketika itu dukun darat sedang berhubungan dengan arwah para leluhur. Kenyataannya, setelah siuman, dukun darat menyampaikan beberapa hal yang tidak boleh dilakukan (pantangan) warga selama tiga hari, antara lain melaut, bertengkar, menjuntai kaki dari sampan ke laut, menjemur pakaian di pagar, dan mencuci kelambu serta cincin di sungai atau laut.
Setelah semua ritual doa selesai, kedua dukun itu langsung menata ketupat di atas sehelai tikar pandan. Sepuluh ketupat menghadap ke sisi darat dan sepuluh lainnya ke sisi laut. Kemudian, 20 pemuda yang menjadi peserta perang ketupat juga berhadapan dalam dua kelompok, menghadap ke laut dan ke darat.
Dukun darat memberi contoh dengan melemparkan ketupat ke punggung dukun laut dan kemudian dibalas, tetapi ketupat tidak boleh dilemparkan ke arah kepala. Kemudian, dengan aba-aba peluit dari dukun laut, perang ketupat pun dimulai.
Ke-20 pemuda langsung menghambur ke tengah dan saling melemparkan ketupat ke arah lawan mereka. Semua bersemangat melemparkan ketupat sekeras-kerasnya dan berebut ketupat yang jatuh. Keadaan kacau sampai dukun laut meniup peluitnya tanda usai perang dan mereka pun berjabat tangan.
Selanjutnya, perang babak kedua dimulai. Prosesnya sama dengan yang pertama, tetapi pesertanya diganti. Perang kali ini pun tidak kalah serunya karena semua peserta melempar ketupat dengan penuh emosi.
Rangkaian upacara itu ditutup dengan upacara Nganyot Perae atau menghanyutkan perahu mainan dari kayu ke laut. Upacara itu dimaksudkan mengantar para makhluk halus pulang agar tidak mengganggu masyarakat Tempilang.
Pergeseran budaya
Kentalnya pengaruh dukun dan dominannya aspek animisme (kepercayaan terhadap roh dan mahluk halus) dalam tradisi perang ketupat terjadi karena budaya ini merupakan warisan masyarakat asli Pulau Bangka yang belum beragama, atau sering disebut sebagai orang Lom. Tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan dimulainya tradisi ini. Namun, berdasarkan cerita rakyat, ketika Gunung Krakatu meletus pada tahun 1883, tradisi ini sudah ada.
Seiring dengan masuknya pengaruh Islam ke Bangka, tradisi tersebut pun mengalami beberapa perubahan cara dan pergeseran substansi. Meskipun tetap turut menonton perang ketupat, sebagian besar warga yang beragama Islam telah mengubah beberapa ritual menjadi bernuansa islami.
Perayaan yang dulunya difokuskan bagi roh-roh halus, kini sebagian ditujukan untuk mengenang arwah leluhur. Demikian pula dengan sesaji, diubah menjadi kenduri untuk dimakan bersama.

Pantai Penyusuk - Bangka





Terletak di bagian lain di ujung utara Pulau Bangka terdapat sebuah pantai yang cukup indah dan alami. Perjalanan menuju pantai memakan waktu sekitar satu jam dari dusun Pesaren. Dalam perjalanan menuju pantai anda akan melewati beberapa tambang timah inkonvensional yang terletak di sebelah kanan dan disebelah kiri jalan.

Pantai Penyusuk memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai obyek wisata bahari unggulan Pulau Bangka dimasa yang akan datang.



 
Pantai Penyusuk terletak di Ujung utara pulau Bangka, tepatnya di semenanjung Penyusuk. Merupakan pantai yang landai dan terdapat banyak kumpulan batuan yang berwarna putih. Pantai ini menghadap ke utara dan ke barat sehingga sangat cocok untuk menikmati pesona sunset.


Pantai Penyusuk, suasana pantai masih tergolong sepi. Tidak terdapat pedagang makanan ataupun penjaga obyek wisata. Saya mengira pantai ini baru akan dikembangkan sebagai obyek pariwisata baru. Pantai yang menghadap ke utara, arus lautnya cukup deras sehingga tidak terdapat kapal nelayan di pinggir pantai.

Di pantai yang menghadap ke barat ada sedikit perbedaan dimana arus laut lebih tenang. Sehingga ada beberapa kapal nelayan yang berada di pinggir pantai. Selain itu desebelah barat juga terdapat sebuah pulau kecil yang dinamakan pulau Lampu. Terdapat sebuah mercusuar di tengah-tengahnya yang menyorotkan lampu pada malam hari. Angin pantai yang sepoi-sepoi membuat suasana nyaman. Dan akhirnya detik-detik menjelang sunset sangat menakjubkan.


 
Namun sayang, Pantai Penyusuk yang cantik itu ternyata tak cantik luar dalam, mengapa tak cantik luar dalam? Secara kasat mata, Pantai Penyusuk memang sangat indah. Setiap orang yang baru datang ke lokasi wisata bahari pasti akan berdecak kagum melihat keindahan pantai yang terdapat di daerah ini. Namun, setelah melakukan penelitian dilokasi ini oleh tim peneliti dari Universitas Bangka Belitung mereka mendapatkan hasil yang cukup mengejutkan.


Keindahan Pantai Penyusuk jauh berkurang dibandingkan dulu. Dulu perairan disini sangat jernih dan kaya akan biota laut. Ikan, cumi, udang dan rajungan sangat mudah untuk didapatkan oleh nelayan di kawasan pantai penyusuk.

Namun sejak beroperasinya beberapa kapal keruk timah dan ditambah lagi dengan hadirnya kapal hisap, perairan Pantai Penyusuk mulai lebih keruh dan membuat terumbu karang di kawasan ini banyak yang mati karena tertutup oleh sediment yang dibawa oleh arus air laut akibat aktivitas penambangan timah di daerah laut sekitar kawasan pantai penyusuk. Hal senada juga disampaikan oleh sarifudin yang merupakan penjaga mercusuar di pulau lampu yang terdapat dikawasan pantai penyusuk. Dulu, dari atas bukit pulau ini, kita dapat melihat warna-warni karang dari bukit ini, namun sekarang yang terlihat hanya warna kecoklatan saja. Mungkin karangnya sudah banyak yang mati.

Inilah yang menyebabkan Pantai Penyusuk tidak dapat dikatakan sebagai kawasan bahari yang cantik luar dalam. Hal ini mengingat bahwa untuk menjadi kawasan wisata bahari yang dapat berkembang dengan baik, maka kawasan wisata tersebut tidak hanya dapat mengandalkan kendahan luarnya, tapi juga keindahan bawah lautnya. mengingat, tujuan utama para wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara (wisman) bukanlah hanya untuk menikmati keindahan suatu wisata bahari yang tampak luar tetapi juga keindahan tampak dalam yaitu keindahan terumbu karang dengan bersnorkling menikmati keindahan terumbu karang atau diving.


 
Kondisi dilapangan memang menunjukkan bahwa Pantai Penyusuk di apit oleh kapal keruk, di sebelah tenggara pantai ini tampak ada empat buah kapal keruk dan dua kapal hisap yang sedang beraktivitas, sedangkan di sebelah utara tampak ada dua kapal keruk. Inilah yang menjadi penyebab utama kekeruhan perairan di pantai penyusuk. Karenanya harusnya kegiatan penambangan dilaut jangan sampai merusak ekosistem terumbu karang, karena akan memberangus potensi wisata bahari kepulauan bangka belitung yang merupakan investasi jangka panjang bagi daerah ini. Selain itu terumbu karang yang sehat pun akan manjadi tempat hidup dan berkembang biota laut yang menjadi sumber pencaharian utama bagi nelayan dan sumber makanan bergizi bagi generasi masa depan pulau ini.

 
Keindahan alam yang menkjubkan membuat setiap pengunjung ingin selalu mengabadikan momen yang seakan tak ingin dilewatkan. Sampai sampai pose seperti ini pun terjadi...hahah (itu foto temen ane,,,,jangan diketawain,,,hahah) 

Sekian dulu tentang Pantai Penyusuk, tunggu ya untuk artikel tentang pantai-pantai di Bangka Belitung lainnya yang tak kalah indah.

Makanan Khas Bangka Belitung

Makanan Khas Bangka Belitung - Saat berkunjung ke propinsi Bangka dan Belitung jangan lupa mencoba jenis makanan khas yang asli berasal dari propinsi ini.

Setiap daerah propinsi di Indonesia Selalu menawarkan keunikan kuliner yang beraneka ragam. Apa nama dan jenis makanan, jajanan atau masakan khas yang berasal dari Bangka Belitung?

Lempah kuning

Makanan ini merupakan masakan khas dari Pulau Bangka. Bahan dasar untuk pembuatan makanan ini dari bahan ikan laut atau dapat juga menggunakan bahan daging. Bumbunya terdiri dari bermacam bumbu dapur seperti diantaranya kunyit, bawang merah dan putih serta lengkuas dan terasi atau belacan yang juga khas berasal dari daerah Bangka.
Getas atau Keretek

Makanan yang satu ini berbahan dasar ikan dan terigu yang dibuat dengan berbagi bentuk yang rasanya hampir sama dengan kerupuk.
Rusip

Makanan khas ini terbuat dari bahan dasar ikan bilis yang sebelum pembuatannya dicuci hingga bersih dan ditiriskan secara steril lalu dicampur dengan garam yang komposisinya seimbang. Agar aromanya menjadi harum dan wangi ditambahkan gula kabung. Adonan ini harus ditutup dengan wadah yang rapat agar tidak tercampur dengan benda asing apapun. Dahulu saat proses pembuatan adonan makanan ini ditempatkan dalam guci yang bermulut sempit. Suhu ruangan harus benar benar dijaga. Makanan ini dapat dimasak dulu atau dimakan langsung dengan lalapan.
Calok
Makanan Calok terbuat dari udang kecil yang masih segar yang disebut dengan udang cencalo/rebon. Proses pembuatannya udang dicuci bersih terlebih dulu dan dicampur dengan garam sebagai pengawet agar tahan lebih lama. Makanan Calok sangat cocok sebagai teman lauk nasi yang masih hangat dengan lalapan ketimun, tomat dan sayuran segar lainnya. 

LAKSO
Ini namanya lakso, makanan khas Bangka yang dibuat dari tepung beras dan penyajiannya dengan kuah santan yg dicampur dengan ikan.

Jenis makanan khas lainnya yang juga berasal dari Bangka Belitung adalah Belacan, Tembiluk, Kempelang, Kerupuk Bangka, Lempah Darat, Empek-empek Bangka, Tempoyak, Bergo, Tekwan, Laksan, Otak-otak, Sambellingkung, Martabak Bangka atau Kue Van De Cock/Hok Lo Pan, Lempok yaitu makanan sejenis dodol.
Sumber : KCBB

Budaya “Dak Kawa Nyusah”

Budaya Bangka Belitung (BABEL) – Tinjauan Lain Terhadap Budaya “Dak Kawa Nyusah”
Dinamika budaya luar tentu tak begitu mudah untuk menggeser karakter masyarakat adat di sebuah wilayah termasuk di wilayah hukum adat pokok Bangka Belitung karena karakter tersebut sudah terbentuk sejak sekian abad lalu dan itu telah menjadi ketahanan budaya masyarakatnya.

Akar budaya itu tak mungkin bisa tercerabut begitu saja jika tidak ada pengaruh kekuatan politis dan kekuasaan yang lebih dominan. Apalagi pasal 32 UUD 45 yang diamanden tahun 2002 telah mempertegas tentang hak-hak masyarakat adat Indonesia yang pluralistis dan perlu di jaga serta di hormati sebagai Kebhinekatunggalikaan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Orang Bangka mengenal istilah “Budaya Dak Kawa Nyusah” ini yang menjadikan stigma buruk dari pandangan pendatang, sebenarnya ada apa dengan budaya tersebut? Dak kawa nyusah berarti kesannya begitu malas dan sangat tidak kreatif. Dan stigma ini tidak kondusif dalam hubungan sosial, itu terkesan akan merendahkan karena pandangan tersebut mengarah pada kinerja yang tidak produktif guna menunjang penghidupan agar tetap eksis.
Sedangkan esistensi adalah tolak ukur dalam kehidupan. Maka kreativitas dan produktivitas adalah sebuah kewajiban yang mesti terpenuhi hingga peradaban bisa maju dan berkembang dengan baik.

Karakter “Dak Kawa Nyusah” dalam tolok ukur ekonomi jelas tak mendukung sebuah kemajuan. Tapi sesungguhnya bagaimana ini terbentuk dan apa manfaatnya bagi masyarakat adat yang hidup dengan makna itu. Bangka Belitung pada awalnya adalah wilayah yang kaya dengan sumber alamnya; kekayaan hutan, mineral galian, bahkan hasil lautnya. Penduduknya yang bermula hidup dari pertumbuhan secara natural begitu menghormati wilayah penghidupan mereka hingga hukum adat berlaku guna menjaga keseimbangan kehidupan antara alam dan penggunanya. Misalnya penggunaan tanah hutan wilayah untuk ladang akan berbeda dengan penggunaan hutan wilayah cadangan. Begitupun terhadap hutan lindung yang melindungi hewan buruan akan berbeda dengan hutan yang melindungi wilayah sungai sebagai sumber air serta penghidupan habitatnya.
Oleh aturan itulah membuat pola hidup masyarakat menjadi tentram hingga terkesan “Dak Kawa Nyusah” karena penghidupan atau mata pencaharian mereka sudah diatur olah sistem itu sedemikian rupa sehingga tak ada persaingan yang perlu dikejar, hidup sudah saling berbagi, menghargai setiap wilayah penghidupan, hubungan sosial terjaga dengan saling membantu dan bergotong royong. Masyarakat dalam pola ini takkan mendapatkan kesusahan hidup. Semua menjadi serba mudah untuk didapat. Alam yang kaya dengan penduduk yang sedikit serta aturan adat yang berjalan tertib, hidup jadi demikian santai dan tenang! Karena itu, tidak ada dalam sejarah Bangka Belitung dilanda krisis ekonomi, sosial, apalagi rasis!

Pola hidup itu tetap bertahan sampai masuknya kolonial Belanda dengan menggerus bahan galian timahnya. Modernisasi terus bergulir, budaya luar beritegrasi ke dalam masyarakatnya hingga pola pikir dan tradisi pun berangsur berubah dikarenakan pengaruh tersebut. Masyarakat mulai dihadapkan pada pola hidup persaingan yang tidak rajin takkan dapat hidup, Belanda dengan kebijakannya meminggirkan aturan adat terhadap hutan dan tanah karena kepentingan terhadap timahnya. Pola hidup dari pertanian dan hasil hutan serta nelayan beralih menjadi pekerja tambang timah.

Maskapai perusahaan pertambangan timah di Bangka Belitung dalam dekade yang cukup lama dapat meninabobokan karyawannya dengan “kemakmuran” hingga menimbulkan budaya “Dak Kawa Nyusah” dalam pola konsumtif karena terus tergantung dari gaji dan ransum serta pasilitas maskapai perusahaan timah tersebut. Hingga kemudian pada dekade berikutnya ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, menyebabkan para karyawan PT Timah di PHK, mereka yang tergantung dengan pola itu menjadi bingung! Maka kran tambang inkonvensional di Bangka Belitung dibuka bebas.

Pola hidup ketergantungan pada sumber daya alam tersebut, bermula pada pertumbuhan masyararakat adat sebelum timah digali. Pola tersebut tentu menjadi baik karena alamnya masih terjaga dengan kekayaan yang melimpah. Bagaimana pada dekade masa kini, ketika alam tidak lagi memberikan penghidupan pada masyarakatnya. Masihkah kita akan terus berpegang dalam pola “ndak kawa nyusah” dan terus hidup tergantung pada sumber daya alam. Adakah alternatif lain seperti pola hidup yang tumbuh dan berkembang di negara-negara yang masyarakatnya tidak bersandar pada potensi yang mengeksploitasi sumber alamnya?

Bagaimana pemikiran kita saat ini tentang cara pandang seperti itu? Ketika kita mengenal budaya kita selalu dalam ukuran tertentu karena tolok ukur dari sudut pandang kita saling berbeda, akibatnya kita tidak melihat budaya adalah sesuatu yang komprehensif artinya budaya sesungguhnya tidaklah berdiri sendiri. Ia adalah komplesitas yang saling terkait dengan semua aspek kehidupan yang melingkupinya maka sesungguhnya budaya adalah hidup sosial keseharian kita yang kita beri arti dan makna.
Maka sejauh mana identitas sosial budaya Bangka Belitung akan bertahan ketika kita telah memberinya dengan arti dan makna yang saling berbeda? Identitas sosial budaya masa lalu dan masa kini tentu menjadi berbeda bentuknya meski memiliki tujuan yang sama yaitu membangun peradaban. Kita bisa melihat bagaimana dulu rumah adat dibuat dan difungsikan, tapi pada masa kini bagaimana pula kantor-kantor pemerintahan dibangun dan diberdayakan. Jika dulu kita lihat bagaimana hutan dijaga untuk keseimbangan hidup dan penghidupan, tapi kini bagaimana pula hutan digerus untuk kepentingan pihak tertentu.

Jika dulu, sebagaimana gotong royong di budayakan, tapi kini bagaimana pula budaya kesetiakawanan sosial dicanangkan. Jika dulu keramahan adalah kesantunan terpuji, tapi kini bagaimana pula jika kemarahan adalah kelumrahan. Jika dulu budaya kerja keras yang halal adalah sebuah martabat, tapi kini bagaimana pula budaya korupsi adalah sebuah gengsi dan prestise.
Budaya kini, dalam arus global yang tak mungkin terbendung. Mampukah kita mempertahankan budaya kita dalam arti yang sesungguhnya; yaitu memberinya makna agar tujuan hidup memiliki sebuah nilai kehormatan baik secara horizontal dan vertikal?. (istinmerlivia)