Budaya Bangka Belitung (BABEL) – Tinjauan Lain Terhadap Budaya “Dak Kawa Nyusah”
Dinamika budaya luar tentu tak begitu mudah untuk menggeser karakter
masyarakat adat di sebuah wilayah termasuk di wilayah hukum adat pokok
Bangka Belitung karena karakter tersebut sudah terbentuk sejak sekian
abad lalu dan itu telah menjadi ketahanan budaya masyarakatnya.
Akar budaya itu tak mungkin bisa tercerabut begitu saja jika tidak
ada pengaruh kekuatan politis dan kekuasaan yang lebih dominan. Apalagi
pasal 32 UUD 45 yang diamanden tahun 2002 telah mempertegas tentang
hak-hak masyarakat adat Indonesia yang pluralistis dan perlu di jaga
serta di hormati sebagai Kebhinekatunggalikaan dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Orang Bangka mengenal istilah “Budaya Dak Kawa Nyusah” ini yang
menjadikan stigma buruk dari pandangan pendatang, sebenarnya ada apa
dengan budaya tersebut? Dak kawa nyusah berarti kesannya begitu malas
dan sangat tidak kreatif. Dan stigma ini tidak kondusif dalam hubungan
sosial, itu terkesan akan merendahkan karena pandangan tersebut mengarah
pada kinerja yang tidak produktif guna menunjang penghidupan agar tetap
eksis.
Sedangkan esistensi adalah tolak ukur dalam kehidupan. Maka
kreativitas dan produktivitas adalah sebuah kewajiban yang mesti
terpenuhi hingga peradaban bisa maju dan berkembang dengan baik.
Karakter “Dak Kawa Nyusah” dalam tolok ukur ekonomi jelas tak
mendukung sebuah kemajuan. Tapi sesungguhnya bagaimana ini terbentuk dan
apa manfaatnya bagi masyarakat adat yang hidup dengan makna itu. Bangka
Belitung pada awalnya adalah wilayah yang kaya dengan sumber alamnya;
kekayaan hutan, mineral galian, bahkan hasil lautnya. Penduduknya yang
bermula hidup dari pertumbuhan secara natural begitu menghormati wilayah
penghidupan mereka hingga hukum adat berlaku guna menjaga keseimbangan
kehidupan antara alam dan penggunanya. Misalnya penggunaan tanah hutan
wilayah untuk ladang akan berbeda dengan penggunaan hutan wilayah
cadangan. Begitupun terhadap hutan lindung yang melindungi hewan buruan
akan berbeda dengan hutan yang melindungi wilayah sungai sebagai sumber
air serta penghidupan habitatnya.
Oleh aturan itulah membuat pola hidup masyarakat menjadi tentram
hingga terkesan “Dak Kawa Nyusah” karena penghidupan atau mata
pencaharian mereka sudah diatur olah sistem itu sedemikian rupa sehingga
tak ada persaingan yang perlu dikejar, hidup sudah saling berbagi,
menghargai setiap wilayah penghidupan, hubungan sosial terjaga dengan
saling membantu dan bergotong royong. Masyarakat dalam pola ini takkan
mendapatkan kesusahan hidup. Semua menjadi serba mudah untuk didapat.
Alam yang kaya dengan penduduk yang sedikit serta aturan adat yang
berjalan tertib, hidup jadi demikian santai dan tenang! Karena itu,
tidak ada dalam sejarah Bangka Belitung dilanda krisis ekonomi, sosial,
apalagi rasis!
Pola hidup itu tetap bertahan sampai masuknya kolonial Belanda dengan
menggerus bahan galian timahnya. Modernisasi terus bergulir, budaya
luar beritegrasi ke dalam masyarakatnya hingga pola pikir dan tradisi
pun berangsur berubah dikarenakan pengaruh tersebut. Masyarakat mulai
dihadapkan pada pola hidup persaingan yang tidak rajin takkan dapat
hidup, Belanda dengan kebijakannya meminggirkan aturan adat terhadap
hutan dan tanah karena kepentingan terhadap timahnya. Pola hidup dari
pertanian dan hasil hutan serta nelayan beralih menjadi pekerja tambang
timah.
Maskapai perusahaan pertambangan timah di Bangka Belitung dalam
dekade yang cukup lama dapat meninabobokan karyawannya dengan
“kemakmuran” hingga menimbulkan budaya “Dak Kawa Nyusah” dalam pola
konsumtif karena terus tergantung dari gaji dan ransum serta pasilitas
maskapai perusahaan timah tersebut. Hingga kemudian pada dekade
berikutnya ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, menyebabkan para
karyawan PT Timah di PHK, mereka yang tergantung dengan pola itu menjadi
bingung! Maka kran tambang inkonvensional di Bangka Belitung dibuka
bebas.
Pola hidup ketergantungan pada sumber daya alam tersebut, bermula
pada pertumbuhan masyararakat adat sebelum timah digali. Pola tersebut
tentu menjadi baik karena alamnya masih terjaga dengan kekayaan yang
melimpah. Bagaimana pada dekade masa kini, ketika alam tidak lagi
memberikan penghidupan pada masyarakatnya. Masihkah kita akan terus
berpegang dalam pola “ndak kawa nyusah” dan terus hidup tergantung pada
sumber daya alam. Adakah alternatif lain seperti pola hidup yang tumbuh
dan berkembang di negara-negara yang masyarakatnya tidak bersandar pada
potensi yang mengeksploitasi sumber alamnya?
Bagaimana pemikiran kita saat ini tentang cara pandang seperti itu?
Ketika kita mengenal budaya kita selalu dalam ukuran tertentu karena
tolok ukur dari sudut pandang kita saling berbeda, akibatnya kita tidak
melihat budaya adalah sesuatu yang komprehensif artinya budaya
sesungguhnya tidaklah berdiri sendiri. Ia adalah komplesitas yang saling
terkait dengan semua aspek kehidupan yang melingkupinya maka
sesungguhnya budaya adalah hidup sosial keseharian kita yang kita beri
arti dan makna.
Maka sejauh mana identitas sosial budaya Bangka Belitung akan
bertahan ketika kita telah memberinya dengan arti dan makna yang saling
berbeda? Identitas sosial budaya masa lalu dan masa kini tentu menjadi
berbeda bentuknya meski memiliki tujuan yang sama yaitu membangun
peradaban. Kita bisa melihat bagaimana dulu rumah adat dibuat dan
difungsikan, tapi pada masa kini bagaimana pula kantor-kantor
pemerintahan dibangun dan diberdayakan. Jika dulu kita lihat bagaimana
hutan dijaga untuk keseimbangan hidup dan penghidupan, tapi kini
bagaimana pula hutan digerus untuk kepentingan pihak tertentu.
Jika dulu, sebagaimana gotong royong di budayakan, tapi kini
bagaimana pula budaya kesetiakawanan sosial dicanangkan. Jika dulu
keramahan adalah kesantunan terpuji, tapi kini bagaimana pula jika
kemarahan adalah kelumrahan. Jika dulu budaya kerja keras yang halal
adalah sebuah martabat, tapi kini bagaimana pula budaya korupsi adalah
sebuah gengsi dan prestise.
Budaya kini, dalam arus global yang tak mungkin terbendung. Mampukah
kita mempertahankan budaya kita dalam arti yang sesungguhnya; yaitu
memberinya makna agar tujuan hidup memiliki sebuah nilai kehormatan baik
secara horizontal dan vertikal?. (istinmerlivia)