Jumat, Januari 10, 2014 Adat dan Budaya, Bangka Barat
Perang Ketupat
Lagu Timang Burong (Menimang Burung) pengiring tari serimbang itu
dilantunkan secara lembut. Lagu itu, diiringi suara gendang dari enam
penabuh serta alunan dawai (alat musik), untuk mengiringi gerak lima
penari remaja yang menyambut tamu. Dengan baju dan selendang merah,
kelima penari menyita perhatian ribuan pengunjung yang memadati Pantai
Pasir Kuning, Tempilang, Bangka Barat, Propinsi Kepulauan Bangka
Belitung.
Tarian yang menggambarkan kegembiraan sekumpulan burung siang
menyambut kehadiran seekor burung malam itu merupakan pembukaan dari
rangkaian tradisi perang ketupat, khas Kecamatan Tempilang di Bangka
Belitung. Tradisi tersebut menggambarkan perang terhadap makhluk-makhluk
halus yang jahat, yang sering mengganggu kehidupan masyarakat.
Tradisi itu sebenarnya sudah dimulai pada malam sebelum perang
ketupat dimulai. Pada malam hari sebelumnya, tiga dukun Kecamatan
Tempilang, yaitu dukun darat, dukun laut, dan dukun yang paling senior,
memulai upacara Penimbongan.
Upacara dimaksudkan untuk memberi makan makhluk halus yang dipercaya
bertempat tinggal di darat. Sesaji untuk makanan makhluk halus itu
diletakkan di atas penimbong atau rumah-rumahan dari kayu menangor.
Secara bergantian, ketiga dukun itu memanggil roh-roh di Gunung
Panden, yaitu Akek Sekerincing, Besi Akek Simpai, Akek Bejanggut Kawat,
Datuk Segenter Alam, Putri Urai Emas, Putri Lepek Panden, serta makhluk
halus yang bermukim di Gunung Mares, yaitu Sumedang Jati Suara dan Akek
Kebudin.
Menurut para dukun, makhluk-makhluk halus itu bertabiat baik dan
menjadi penjaga Desa Tempilang dari serangan roh-roh jahat. Karena itu,
mereka harus diberi makan agar tetap bersikap baik terhadap warga desa.
Pada upacara Penimbongan itu digelar tari campak, tari serimbang,
tari kedidi, dan tari seramo. Tari campak dilakukan dalam beberapa tahap
dengan iringan pantun yang dinyanyikan secara bersahut-sahutan. Tari
ini juga biasa digelar dalam pesta pernikahan atau pesta rakyat lainnya.
Tari kedidi lebih mirip dengan peragaan jurus-jurus silat yang
diilhami gerakan lincah burung kedidi, sedangkan tari seramo merupakan
tari penutup yang menggambarkan pertempuran habis-habisan antara
kebenaran melawan kejahatan.
Seusai upacara Penimbongan, para dukun itu kembali mengadakan upacara
Ngancak, yakni pada tengah malamnya. Upacara Ngancak dimaksudkan
memberi makan kepada makhluk halus penunggu laut.
Diterangi empat batang lilin, dukun laut membuka acara itu dengan
membaca mantra-mantra pemanggil makhluk halus penunggu laut, di antara
bebatuan tepi Pantai Pasir Kuning, Tempilang. Nama-nama makhluk halus
itu diyakini tidak boleh diberitahukan kepada masyarakat agar tidak
disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.
Seperti pada upacara Penimbongan, upacara Ngancak juga dilengkapi
sesaji bagi makhluk halus penunggu laut. Sesaji itu dipercaya merupakan
makanan kesukaan siluman buaya, yaitu buk pulot atau nasi ketan, telur
rebus, dan pisang rejang.
Perang ketupat
Pagi harinya, seusai tari serimbang digelar, dukun darat dan dukun
laut bersatu merapal mantra di depan wadah yang berisi 40 ketupat.
Mereka juga berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar perayaan tersebut
dilindungi, jauh dari bencana.
Di tengah membaca mantra, dukun darat tiba-tiba tak sadarkan diri
(trance) dan terjatuh. Dukun laut menolongnya dengan membaca beberapa
mantra, dan akhirnya dukun darat pun sadar dalam hitungan detik.
Menurut beberapa orang tua di tempat tersebut, ketika itu dukun darat
sedang berhubungan dengan arwah para leluhur. Kenyataannya, setelah
siuman, dukun darat menyampaikan beberapa hal yang tidak boleh dilakukan
(pantangan) warga selama tiga hari, antara lain melaut, bertengkar,
menjuntai kaki dari sampan ke laut, menjemur pakaian di pagar, dan
mencuci kelambu serta cincin di sungai atau laut.
Setelah semua ritual doa selesai, kedua dukun itu langsung menata
ketupat di atas sehelai tikar pandan. Sepuluh ketupat menghadap ke sisi
darat dan sepuluh lainnya ke sisi laut. Kemudian, 20 pemuda yang menjadi
peserta perang ketupat juga berhadapan dalam dua kelompok, menghadap ke
laut dan ke darat.
Dukun darat memberi contoh dengan melemparkan ketupat ke punggung
dukun laut dan kemudian dibalas, tetapi ketupat tidak boleh dilemparkan
ke arah kepala. Kemudian, dengan aba-aba peluit dari dukun laut, perang
ketupat pun dimulai.
Ke-20 pemuda langsung menghambur ke tengah dan saling melemparkan
ketupat ke arah lawan mereka. Semua bersemangat melemparkan ketupat
sekeras-kerasnya dan berebut ketupat yang jatuh. Keadaan kacau sampai
dukun laut meniup peluitnya tanda usai perang dan mereka pun berjabat
tangan.
Selanjutnya, perang babak kedua dimulai. Prosesnya sama dengan yang
pertama, tetapi pesertanya diganti. Perang kali ini pun tidak kalah
serunya karena semua peserta melempar ketupat dengan penuh emosi.
Rangkaian upacara itu ditutup dengan upacara Nganyot Perae atau
menghanyutkan perahu mainan dari kayu ke laut. Upacara itu dimaksudkan
mengantar para makhluk halus pulang agar tidak mengganggu masyarakat
Tempilang.
Pergeseran budaya
Kentalnya pengaruh dukun dan dominannya aspek animisme (kepercayaan
terhadap roh dan mahluk halus) dalam tradisi perang ketupat terjadi
karena budaya ini merupakan warisan masyarakat asli Pulau Bangka yang
belum beragama, atau sering disebut sebagai orang Lom. Tidak ada yang
mengetahui secara pasti kapan dimulainya tradisi ini. Namun, berdasarkan
cerita rakyat, ketika Gunung Krakatu meletus pada tahun 1883, tradisi
ini sudah ada.
Seiring dengan masuknya pengaruh Islam ke Bangka, tradisi tersebut
pun mengalami beberapa perubahan cara dan pergeseran substansi. Meskipun
tetap turut menonton perang ketupat, sebagian besar warga yang beragama
Islam telah mengubah beberapa ritual menjadi bernuansa islami.
Perayaan yang dulunya difokuskan bagi roh-roh halus, kini sebagian
ditujukan untuk mengenang arwah leluhur. Demikian pula dengan sesaji,
diubah menjadi kenduri untuk dimakan bersama.
Pantai Penyusuk - Bangka
Terletak di bagian lain di ujung utara Pulau Bangka terdapat sebuah pantai yang
cukup indah dan alami. Perjalanan menuju pantai memakan waktu sekitar
satu jam dari dusun Pesaren. Dalam perjalanan menuju pantai anda akan
melewati beberapa tambang timah inkonvensional yang terletak di sebelah
kanan dan disebelah kiri jalan.
Pantai Penyusuk memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai obyek wisata bahari unggulan Pulau Bangka dimasa yang akan datang.
Pantai Penyusuk terletak di Ujung utara pulau Bangka, tepatnya di semenanjung Penyusuk. Merupakan pantai yang landai dan terdapat banyak kumpulan batuan yang berwarna putih. Pantai ini menghadap ke utara dan ke barat sehingga sangat cocok untuk menikmati pesona sunset.
Pantai Penyusuk, suasana pantai masih tergolong sepi. Tidak terdapat pedagang makanan ataupun penjaga obyek wisata. Saya mengira pantai ini baru akan dikembangkan sebagai obyek pariwisata baru. Pantai yang menghadap ke utara, arus lautnya cukup deras sehingga tidak terdapat kapal nelayan di pinggir pantai.
Di pantai yang menghadap ke barat ada sedikit perbedaan dimana arus laut lebih tenang. Sehingga ada beberapa kapal nelayan yang berada di pinggir pantai. Selain itu desebelah barat juga terdapat sebuah pulau kecil yang dinamakan pulau Lampu. Terdapat sebuah mercusuar di tengah-tengahnya yang menyorotkan lampu pada malam hari. Angin pantai yang sepoi-sepoi membuat suasana nyaman. Dan akhirnya detik-detik menjelang sunset sangat menakjubkan.
Namun sayang, Pantai Penyusuk yang cantik itu ternyata tak cantik luar dalam, mengapa tak cantik luar dalam? Secara kasat mata, Pantai Penyusuk memang sangat indah. Setiap orang yang baru datang ke lokasi wisata bahari pasti akan berdecak kagum melihat keindahan pantai yang terdapat di daerah ini. Namun, setelah melakukan penelitian dilokasi ini oleh tim peneliti dari Universitas Bangka Belitung mereka mendapatkan hasil yang cukup mengejutkan.
Keindahan Pantai Penyusuk jauh berkurang dibandingkan dulu. Dulu perairan disini sangat jernih dan kaya akan biota laut. Ikan, cumi, udang dan rajungan sangat mudah untuk didapatkan oleh nelayan di kawasan pantai penyusuk.
Namun sejak beroperasinya beberapa kapal keruk timah dan ditambah lagi dengan hadirnya kapal hisap, perairan Pantai Penyusuk mulai lebih keruh dan membuat terumbu karang di kawasan ini banyak yang mati karena tertutup oleh sediment yang dibawa oleh arus air laut akibat aktivitas penambangan timah di daerah laut sekitar kawasan pantai penyusuk. Hal senada juga disampaikan oleh sarifudin yang merupakan penjaga mercusuar di pulau lampu yang terdapat dikawasan pantai penyusuk. Dulu, dari atas bukit pulau ini, kita dapat melihat warna-warni karang dari bukit ini, namun sekarang yang terlihat hanya warna kecoklatan saja. Mungkin karangnya sudah banyak yang mati.
Inilah yang menyebabkan Pantai Penyusuk tidak dapat dikatakan sebagai kawasan bahari yang cantik luar dalam. Hal ini mengingat bahwa untuk menjadi kawasan wisata bahari yang dapat berkembang dengan baik, maka kawasan wisata tersebut tidak hanya dapat mengandalkan kendahan luarnya, tapi juga keindahan bawah lautnya. mengingat, tujuan utama para wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara (wisman) bukanlah hanya untuk menikmati keindahan suatu wisata bahari yang tampak luar tetapi juga keindahan tampak dalam yaitu keindahan terumbu karang dengan bersnorkling menikmati keindahan terumbu karang atau diving.
Kondisi dilapangan memang menunjukkan bahwa Pantai Penyusuk di apit oleh kapal keruk, di sebelah tenggara pantai ini tampak ada empat buah kapal keruk dan dua kapal hisap yang sedang beraktivitas, sedangkan di sebelah utara tampak ada dua kapal keruk. Inilah yang menjadi penyebab utama kekeruhan perairan di pantai penyusuk. Karenanya harusnya kegiatan penambangan dilaut jangan sampai merusak ekosistem terumbu karang, karena akan memberangus potensi wisata bahari kepulauan bangka belitung yang merupakan investasi jangka panjang bagi daerah ini. Selain itu terumbu karang yang sehat pun akan manjadi tempat hidup dan berkembang biota laut yang menjadi sumber pencaharian utama bagi nelayan dan sumber makanan bergizi bagi generasi masa depan pulau ini.
Pantai Penyusuk memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai obyek wisata bahari unggulan Pulau Bangka dimasa yang akan datang.
Pantai Penyusuk terletak di Ujung utara pulau Bangka, tepatnya di semenanjung Penyusuk. Merupakan pantai yang landai dan terdapat banyak kumpulan batuan yang berwarna putih. Pantai ini menghadap ke utara dan ke barat sehingga sangat cocok untuk menikmati pesona sunset.
Pantai Penyusuk, suasana pantai masih tergolong sepi. Tidak terdapat pedagang makanan ataupun penjaga obyek wisata. Saya mengira pantai ini baru akan dikembangkan sebagai obyek pariwisata baru. Pantai yang menghadap ke utara, arus lautnya cukup deras sehingga tidak terdapat kapal nelayan di pinggir pantai.
Di pantai yang menghadap ke barat ada sedikit perbedaan dimana arus laut lebih tenang. Sehingga ada beberapa kapal nelayan yang berada di pinggir pantai. Selain itu desebelah barat juga terdapat sebuah pulau kecil yang dinamakan pulau Lampu. Terdapat sebuah mercusuar di tengah-tengahnya yang menyorotkan lampu pada malam hari. Angin pantai yang sepoi-sepoi membuat suasana nyaman. Dan akhirnya detik-detik menjelang sunset sangat menakjubkan.
Namun sayang, Pantai Penyusuk yang cantik itu ternyata tak cantik luar dalam, mengapa tak cantik luar dalam? Secara kasat mata, Pantai Penyusuk memang sangat indah. Setiap orang yang baru datang ke lokasi wisata bahari pasti akan berdecak kagum melihat keindahan pantai yang terdapat di daerah ini. Namun, setelah melakukan penelitian dilokasi ini oleh tim peneliti dari Universitas Bangka Belitung mereka mendapatkan hasil yang cukup mengejutkan.
Keindahan Pantai Penyusuk jauh berkurang dibandingkan dulu. Dulu perairan disini sangat jernih dan kaya akan biota laut. Ikan, cumi, udang dan rajungan sangat mudah untuk didapatkan oleh nelayan di kawasan pantai penyusuk.
Namun sejak beroperasinya beberapa kapal keruk timah dan ditambah lagi dengan hadirnya kapal hisap, perairan Pantai Penyusuk mulai lebih keruh dan membuat terumbu karang di kawasan ini banyak yang mati karena tertutup oleh sediment yang dibawa oleh arus air laut akibat aktivitas penambangan timah di daerah laut sekitar kawasan pantai penyusuk. Hal senada juga disampaikan oleh sarifudin yang merupakan penjaga mercusuar di pulau lampu yang terdapat dikawasan pantai penyusuk. Dulu, dari atas bukit pulau ini, kita dapat melihat warna-warni karang dari bukit ini, namun sekarang yang terlihat hanya warna kecoklatan saja. Mungkin karangnya sudah banyak yang mati.
Inilah yang menyebabkan Pantai Penyusuk tidak dapat dikatakan sebagai kawasan bahari yang cantik luar dalam. Hal ini mengingat bahwa untuk menjadi kawasan wisata bahari yang dapat berkembang dengan baik, maka kawasan wisata tersebut tidak hanya dapat mengandalkan kendahan luarnya, tapi juga keindahan bawah lautnya. mengingat, tujuan utama para wisatawan, khususnya wisatawan mancanegara (wisman) bukanlah hanya untuk menikmati keindahan suatu wisata bahari yang tampak luar tetapi juga keindahan tampak dalam yaitu keindahan terumbu karang dengan bersnorkling menikmati keindahan terumbu karang atau diving.
Kondisi dilapangan memang menunjukkan bahwa Pantai Penyusuk di apit oleh kapal keruk, di sebelah tenggara pantai ini tampak ada empat buah kapal keruk dan dua kapal hisap yang sedang beraktivitas, sedangkan di sebelah utara tampak ada dua kapal keruk. Inilah yang menjadi penyebab utama kekeruhan perairan di pantai penyusuk. Karenanya harusnya kegiatan penambangan dilaut jangan sampai merusak ekosistem terumbu karang, karena akan memberangus potensi wisata bahari kepulauan bangka belitung yang merupakan investasi jangka panjang bagi daerah ini. Selain itu terumbu karang yang sehat pun akan manjadi tempat hidup dan berkembang biota laut yang menjadi sumber pencaharian utama bagi nelayan dan sumber makanan bergizi bagi generasi masa depan pulau ini.
Keindahan alam yang menkjubkan membuat setiap pengunjung ingin selalu mengabadikan momen yang seakan tak ingin dilewatkan. Sampai sampai pose seperti ini pun terjadi...hahah (itu foto temen ane,,,,jangan diketawain,,,hahah)
Sekian dulu tentang Pantai Penyusuk, tunggu ya untuk artikel tentang pantai-pantai di Bangka Belitung lainnya yang tak kalah indah.
Jumat, Januari 03, 2014 Bangka Belitung, Kuliner
Makanan Khas Bangka Belitung
Makanan
Khas Bangka Belitung -
Saat berkunjung ke propinsi Bangka dan Belitung jangan lupa mencoba jenis
makanan khas yang asli berasal dari propinsi ini.
Setiap
daerah propinsi di Indonesia Selalu menawarkan keunikan kuliner yang beraneka
ragam. Apa nama dan jenis makanan, jajanan atau masakan khas yang berasal dari
Bangka Belitung?
Lempah
kuning
Makanan
ini merupakan masakan khas dari Pulau Bangka. Bahan dasar untuk pembuatan
makanan ini dari bahan ikan laut atau dapat juga menggunakan bahan daging.
Bumbunya terdiri dari bermacam bumbu dapur seperti diantaranya kunyit, bawang
merah dan putih serta lengkuas dan terasi atau belacan yang juga khas berasal
dari daerah Bangka.
Getas
atau Keretek
Makanan yang satu ini berbahan dasar ikan dan
terigu yang dibuat dengan berbagi bentuk yang rasanya hampir sama dengan
kerupuk.
Rusip
Makanan
khas ini terbuat dari bahan dasar ikan bilis yang sebelum pembuatannya dicuci
hingga bersih dan ditiriskan secara steril lalu dicampur dengan garam yang
komposisinya seimbang. Agar aromanya menjadi harum dan wangi ditambahkan gula
kabung. Adonan ini harus ditutup dengan wadah yang rapat agar tidak tercampur
dengan benda asing apapun. Dahulu saat proses pembuatan adonan makanan ini
ditempatkan dalam guci yang bermulut sempit. Suhu ruangan harus benar benar
dijaga. Makanan ini dapat dimasak dulu atau dimakan langsung dengan lalapan.
Calok
Makanan
Calok terbuat dari udang kecil yang masih segar yang disebut dengan udang
cencalo/rebon. Proses pembuatannya udang dicuci bersih terlebih dulu dan
dicampur dengan garam sebagai pengawet agar tahan lebih lama. Makanan Calok
sangat cocok sebagai teman lauk nasi yang masih hangat dengan lalapan ketimun,
tomat dan sayuran segar lainnya.
LAKSO
Ini namanya lakso, makanan khas Bangka yang dibuat
dari tepung beras dan penyajiannya dengan kuah santan yg dicampur dengan ikan.
Jenis
makanan khas lainnya yang juga berasal dari Bangka Belitung adalah Belacan,
Tembiluk, Kempelang, Kerupuk Bangka, Lempah Darat, Empek-empek Bangka, Tempoyak, Bergo, Tekwan, Laksan, Otak-otak, Sambellingkung, Martabak Bangka
atau Kue Van De Cock/Hok Lo Pan, Lempok yaitu makanan sejenis dodol.
Sumber : KCBB
Kamis, Januari 02, 2014 Adat dan Budaya, Bangka, Belitung
Budaya “Dak Kawa Nyusah”
Budaya Bangka Belitung (BABEL) – Tinjauan Lain Terhadap Budaya “Dak Kawa Nyusah”
Dinamika budaya luar tentu tak begitu mudah untuk menggeser karakter
masyarakat adat di sebuah wilayah termasuk di wilayah hukum adat pokok
Bangka Belitung karena karakter tersebut sudah terbentuk sejak sekian
abad lalu dan itu telah menjadi ketahanan budaya masyarakatnya.
Akar budaya itu tak mungkin bisa tercerabut begitu saja jika tidak
ada pengaruh kekuatan politis dan kekuasaan yang lebih dominan. Apalagi
pasal 32 UUD 45 yang diamanden tahun 2002 telah mempertegas tentang
hak-hak masyarakat adat Indonesia yang pluralistis dan perlu di jaga
serta di hormati sebagai Kebhinekatunggalikaan dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Orang Bangka mengenal istilah “Budaya Dak Kawa Nyusah” ini yang
menjadikan stigma buruk dari pandangan pendatang, sebenarnya ada apa
dengan budaya tersebut? Dak kawa nyusah berarti kesannya begitu malas
dan sangat tidak kreatif. Dan stigma ini tidak kondusif dalam hubungan
sosial, itu terkesan akan merendahkan karena pandangan tersebut mengarah
pada kinerja yang tidak produktif guna menunjang penghidupan agar tetap
eksis.
Sedangkan esistensi adalah tolak ukur dalam kehidupan. Maka
kreativitas dan produktivitas adalah sebuah kewajiban yang mesti
terpenuhi hingga peradaban bisa maju dan berkembang dengan baik.
Karakter “Dak Kawa Nyusah” dalam tolok ukur ekonomi jelas tak
mendukung sebuah kemajuan. Tapi sesungguhnya bagaimana ini terbentuk dan
apa manfaatnya bagi masyarakat adat yang hidup dengan makna itu. Bangka
Belitung pada awalnya adalah wilayah yang kaya dengan sumber alamnya;
kekayaan hutan, mineral galian, bahkan hasil lautnya. Penduduknya yang
bermula hidup dari pertumbuhan secara natural begitu menghormati wilayah
penghidupan mereka hingga hukum adat berlaku guna menjaga keseimbangan
kehidupan antara alam dan penggunanya. Misalnya penggunaan tanah hutan
wilayah untuk ladang akan berbeda dengan penggunaan hutan wilayah
cadangan. Begitupun terhadap hutan lindung yang melindungi hewan buruan
akan berbeda dengan hutan yang melindungi wilayah sungai sebagai sumber
air serta penghidupan habitatnya.
Oleh aturan itulah membuat pola hidup masyarakat menjadi tentram
hingga terkesan “Dak Kawa Nyusah” karena penghidupan atau mata
pencaharian mereka sudah diatur olah sistem itu sedemikian rupa sehingga
tak ada persaingan yang perlu dikejar, hidup sudah saling berbagi,
menghargai setiap wilayah penghidupan, hubungan sosial terjaga dengan
saling membantu dan bergotong royong. Masyarakat dalam pola ini takkan
mendapatkan kesusahan hidup. Semua menjadi serba mudah untuk didapat.
Alam yang kaya dengan penduduk yang sedikit serta aturan adat yang
berjalan tertib, hidup jadi demikian santai dan tenang! Karena itu,
tidak ada dalam sejarah Bangka Belitung dilanda krisis ekonomi, sosial,
apalagi rasis!
Pola hidup itu tetap bertahan sampai masuknya kolonial Belanda dengan
menggerus bahan galian timahnya. Modernisasi terus bergulir, budaya
luar beritegrasi ke dalam masyarakatnya hingga pola pikir dan tradisi
pun berangsur berubah dikarenakan pengaruh tersebut. Masyarakat mulai
dihadapkan pada pola hidup persaingan yang tidak rajin takkan dapat
hidup, Belanda dengan kebijakannya meminggirkan aturan adat terhadap
hutan dan tanah karena kepentingan terhadap timahnya. Pola hidup dari
pertanian dan hasil hutan serta nelayan beralih menjadi pekerja tambang
timah.
Maskapai perusahaan pertambangan timah di Bangka Belitung dalam
dekade yang cukup lama dapat meninabobokan karyawannya dengan
“kemakmuran” hingga menimbulkan budaya “Dak Kawa Nyusah” dalam pola
konsumtif karena terus tergantung dari gaji dan ransum serta pasilitas
maskapai perusahaan timah tersebut. Hingga kemudian pada dekade
berikutnya ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, menyebabkan para
karyawan PT Timah di PHK, mereka yang tergantung dengan pola itu menjadi
bingung! Maka kran tambang inkonvensional di Bangka Belitung dibuka
bebas.
Pola hidup ketergantungan pada sumber daya alam tersebut, bermula
pada pertumbuhan masyararakat adat sebelum timah digali. Pola tersebut
tentu menjadi baik karena alamnya masih terjaga dengan kekayaan yang
melimpah. Bagaimana pada dekade masa kini, ketika alam tidak lagi
memberikan penghidupan pada masyarakatnya. Masihkah kita akan terus
berpegang dalam pola “ndak kawa nyusah” dan terus hidup tergantung pada
sumber daya alam. Adakah alternatif lain seperti pola hidup yang tumbuh
dan berkembang di negara-negara yang masyarakatnya tidak bersandar pada
potensi yang mengeksploitasi sumber alamnya?
Bagaimana pemikiran kita saat ini tentang cara pandang seperti itu?
Ketika kita mengenal budaya kita selalu dalam ukuran tertentu karena
tolok ukur dari sudut pandang kita saling berbeda, akibatnya kita tidak
melihat budaya adalah sesuatu yang komprehensif artinya budaya
sesungguhnya tidaklah berdiri sendiri. Ia adalah komplesitas yang saling
terkait dengan semua aspek kehidupan yang melingkupinya maka
sesungguhnya budaya adalah hidup sosial keseharian kita yang kita beri
arti dan makna.
Maka sejauh mana identitas sosial budaya Bangka Belitung akan
bertahan ketika kita telah memberinya dengan arti dan makna yang saling
berbeda? Identitas sosial budaya masa lalu dan masa kini tentu menjadi
berbeda bentuknya meski memiliki tujuan yang sama yaitu membangun
peradaban. Kita bisa melihat bagaimana dulu rumah adat dibuat dan
difungsikan, tapi pada masa kini bagaimana pula kantor-kantor
pemerintahan dibangun dan diberdayakan. Jika dulu kita lihat bagaimana
hutan dijaga untuk keseimbangan hidup dan penghidupan, tapi kini
bagaimana pula hutan digerus untuk kepentingan pihak tertentu.
Jika dulu, sebagaimana gotong royong di budayakan, tapi kini
bagaimana pula budaya kesetiakawanan sosial dicanangkan. Jika dulu
keramahan adalah kesantunan terpuji, tapi kini bagaimana pula jika
kemarahan adalah kelumrahan. Jika dulu budaya kerja keras yang halal
adalah sebuah martabat, tapi kini bagaimana pula budaya korupsi adalah
sebuah gengsi dan prestise.
Budaya kini, dalam arus global yang tak mungkin terbendung. Mampukah
kita mempertahankan budaya kita dalam arti yang sesungguhnya; yaitu
memberinya makna agar tujuan hidup memiliki sebuah nilai kehormatan baik
secara horizontal dan vertikal?. (istinmerlivia)